Rabu, 11 Maret 2015

Pada Zaman Belanda, Korupsi Merata dari Atas Hingga Bawah


TEMPO.COYogyakarta - Penjelasan mengenai korupsi sistemik bisa memakai cara beragam, bergantung pada disiplin keilmuan. Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM), Pujo Semedi Hargo Yuwono, menunjukkan cara penjelasan dari kaca mata antropologi. "Kalau Antropolog caranya dengan mendongeng," kata Pujo saat berbicara dalam Seminar Nasional "Kajian Strategi Nasional Penanggulangan Korupsi" di Grha Sabha Pramana UGM.

Dia merujuk laporan arsip di masa kolonial mengenai korupsi di dalam perusahaan milik negara dalam sektor perkebunan di Jawa dan Kalimantan. Pencurian kekayaan perusahan milik pemerintah kolonial itu dilakukan oleh pegawai di semua level.

Laporan arsip pemerintah kolonial menyebutkan kuli pribumi sering membongkar tanah di lahan milik perusahaan yang baru dipupuk. Mereka mengeruk tanah itu dan membawanya pulang untuk penyubur lahan kebun atau sawah milik pribadi. Adapun kuli panen meletakkan hasil panenan di bawah guyuran hujan agar memperberat timbangan sehingga upah atas pekerjaannya bertambah.

Pegawai level mandor kerap mempekerjakan kuli hantu. Mereka memasukkan banyak nama kuli ke dalam laporan pengeluaran gaji meskipun faktanya tidak ada. Sedang pengawas mandor terbiasa menggelembungkan nilai belanja perusahaan.

Di level manajer, nilai pencurian kekayaan perusahaan lebih besar. Manajer memperbesar dana belanja yang sudah digelembungkan pengawas. Pemasukannya juga bertambah dari suap yang dikutip dari banyak rekanan perusahaan. "Kabeh nyolong (semua mencuri)," ujar Pujo.

Pujo mengatakan, pada tahun 1884 perusahaan itu membeli 1000 meter kubik kotoran kerbau untuk bahan pupuk dengan harga 30 sen per meter kubik. Tapi, proyek ini dihentikan karena harga pupuk kemahalan dan berkualitas buruk. "Buruk sebab mandor berkongsi dengan peternak mecampurkan rumput dan sampah dedaunan di kotoran kerbau," kata dia. 

Pujo menilai korupsi menjamur di segala lini karena perlawanan pegawai rendahan terhadap anarki kekuasaan oleh pimpinan perusahaan. “Ketika semua orang korupsi, indikasinya pimpinan melonggarkan sistem dan bawahan mendiamkan korupsi atasan,” ujarnya.

Pada tahun 1800-an itu, gaji manajer perusahaan yang merupakan warga Belanda, mencapai 400 gulden per-bulan. Untuk tunjangan pindahan rumah bagi seorang manajer 1000 gulden. "Padahal, harga satu ekor kerbau saat itu ialah 10 gulden," kata dia.

Gaji mandor, yang umumnya warga pribumi, hanya 20 gulden per bulan. Upah kuli lebih rendah lagi, yakni 1 gulden 4 sen setiap bulan, atau setara harga empat meter kubik kotoran kerbau. "Banyak mandor punya rumah mewah meski bergaji rendah, tapi semua orang mendiamkan," kata Pujo. 

Dia menyimpulkan lembaga produksi kemakmuran milik publik mudah menjadi sarang korupsi ketika ada sistem hak istimewa yang menciptakan jurang perbedaan antara lapisan atas dan bawah. "Jawaban untuk masalah korupsi ialah, jangan pelihara sistem pemberian hak-hak istimewa," kata Pujo.

Sumber : Tempo

0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com